Menjaga Semangat Belajar di PKBM Celah Cahaya
Kilau Cahaya di Tengah Kelam
Rifan terlahir di kampung kecil, di mana jalan setapak hanya disinari lampu minyak, dan malam lebih gelap daripada kerinduannya akan masa depan. Ia memeluk kenangan tentang debur ombak sawah dan nyanyian jangkrik—suara-suara yang menenangkannya sebelum cahaya kota menelan harap.
Suatu hari, terdorong rasa penasaran sekaligus keberanian, Rifan melangkah ke kota yang tak pernah ia kenal. Di sana, di lorong-lorong sunyi, detak waktu berjalan tertatih; harapan bagai ubur-ubur rapuh yang bisa meledak oleh keraguan. Lalu, di ujung jalan yang terlupakan, ia menemukan PKBM Celah Cahaya—bukan sekadar bangunan, melainkan mercusuar bagi jiwa-jiwa haus ilmu.
Senja Pertama Rifan memasuki aula pertama kali saat senja merunduk. Beton dingin memanggil kakinya, tapi aroma kayu lapuk dan debu buku bekas menenangkan kegundahannya. Di atas meja, tumpukan modul menanti disentuh; di pojok, papan tulis putih bersiap diukir kapur penuh harapan.
Kala itu, Rifan bertemu Sari—suara lembutnya seperti alunan puisi—dan Andi, sosok tegap dengan mata yang menampung lembut sorot luka. Lina, ibu rumah tangga dengan termos teh hangat, juga hadir, membuktikan bahwa kehausan belajar tak mengenal batas usia.
“Belajar bukan soal seberapa cepat kau mengerti, tapi seberapa gigih kau bertahan,” ujarnya, Pak Dedi, guru yang menebar benih keyakinan tanpa syarat.
Denting Pagi dan Desah Hati Setiap Senin, bel sekolah menyalakan semesta mereka. Rifan meretas kata demi kata, angka demi angka, sembari memungut makna di balik huruf. Sari menorehkan puisi:
Hujan menetes di kaca jendela, Seperti air mata bumi yang ingin bercerita.
Sedangkan Andi, dengan bekas luka di tangan, menulis:
1 + 1 = 2
Tawa pecah, sederhana namun sakral.
Pelita di Balik Lelah Waktu terbatas, namun PKBM memberi detik tambahan bagi yang percaya. Lina sering terlambat, menggendong beban tanggung jawab rumah. Dalam senja, ia menyusu putranya sembari menuntaskan soal—setiap huruf adalah teguran pada mimpinya.
“Karena setiap huruf yang kutulis adalah pelukan untuk masa depan,” bisiknya.
Gelombang Resiliensi Ketika Andi dipecat pabrik, langkahnya gontai, tapi senyum tetap menari. Di sesi mentoring, Guru Maya menabur:
“Tantangan adalah gelombang yang menantimu belajar berenang.”
Di buku catatannya tertulis:
“Jika aku hanyut, ingatlah arus itu yang membawaku bertahan.”
Surat untuk Rumah Rindu kerap menjemput. Sari menulis:
“Ibu, setiap huruf yang kutulis adalah peluk dari kejauhan.”
Di kampung, ibunya membaca dengan mata basah.
Lina menulis untuk putrinya:
“Nak, ibu belajar agar pelukan ini selalu terasa.”
Aspirasi Tanpa Amplop Workshop surat harapan: tiada amplop, hanya papan aspirasi. Surat mereka—puisi, rumus, cita-cita—menempel bak bintang jatuh yang menunggu ditebak.
Guru Maya: “Saat kau menulis mimpi, semesta meretas jalan bagimu.”
Kilau di Ujung Jalan Setahun berselang, topi karton terbang, tepuk tangan bergulung. Sari jadi relawan literasi, Lina membuka kelas untuk anak-anak, Andi melangkah ke sekolah teknik.
Tinta yang Tak Pernah Pudar Rifan menatap jejak tinta di mejanya. Setiap coretan bagai tanda tanya yang menemukan jawaban. Guru Maya mengulang:
“Ilmu tak mati saat kau menularkannya.”
Di ambang pagi baru, mereka berdiri sepakat: kebersamaan adalah cahaya saat fajar belum tiba. Rifan mengangkat pena, menulis kalimat terakhir:
“Cre’akulah mimpi, biarkan semesta yang merangkainya.”
Epilog: Janji pada Langit Aku menulis bukan untuk mengakhiri, melainkan memulai. PKBM Celah Cahaya menanti siapa saja yang berani menyalakan obor dalam kegelapan. Dan aku—Rifan—akan terus berjalan, menyulam asa di setiap lembar kehidupan.