Buku: Jendela Jiwa yang Tak Bisa Digantikan Layar

Buku: Jendela Jiwa yang Tak Bisa Digantikan Layar

Di sebuah sore yang basah oleh gerimis kecil, aku duduk sendiri di pojok perpustakaan tua yang sudah berdebu. Di hadapanku, berjajar buku-buku yang tampak lelah karena terlalu sering disentuh waktu. Ada yang warnanya mulai pudar, ada pula yang halamannya kusut dan tercetak lamat-lamat. Tapi justru di situlah pesonanya: keusangan yang mengandung kebijaksanaan.

Buku: Jendela Jiwa yang Tak Bisa Digantikan Layar

Aku membuka satu buku tua—tak terlalu tebal, sampulnya cokelat tua, judulnya sudah hampir tak terbaca. Saat halaman pertama kubuka, aku seperti sedang menyalakan lentera di tengah malam. Kata-kata yang tertulis dengan tinta sabar itu menari di mataku, menyusup ke hati, dan menggugah pikiranku. Di situ aku kembali sadar: buku, tak akan pernah bisa digantikan oleh TikTok atau film yang hanya menyentuh permukaan perasaan.

Menelusuri Kata, Menemukan Diri

Membaca buku bukan sekadar aktivitas, tapi perenungan. Ia adalah perjalanan batin. Setiap kalimat adalah langkah, setiap bab adalah pemberhentian, dan halaman terakhir adalah kedatangan di tempat yang baru—tempat yang mungkin tak terpetakan di dunia nyata, tapi sangat jelas dalam kesadaran.

Sementara TikTok menawarkan kilasan cepat tentang tarian viral, komedi ringan, atau cerita sedih berdurasi satu menit, buku menawarkan kedalaman. Ia tidak memburu perhatian, tapi mengundang kontemplasi. Film menyuguhkan cerita, tapi buku mengajarkan bagaimana cara membaca kehidupan.

Di pondok dulu, guru kami pernah berkata, “Bacalah, maka kau akan memimpin dunia. Tapi jangan hanya membaca tulisan, baca pula isyarat dari semesta.” Kata-kata itu terus tinggal di ingatanku. Dan kupahami sekarang, bahwa buku adalah salah satu bentuk isyarat dari semesta yang perlu ditafsirkan dengan ketekunan dan kesabaran.

Waktu yang Lambat dan Bermakna

Kita hidup di zaman kecepatan. Kita ingin semua serba instan. Bahkan tertawa pun harus bisa dalam 15 detik. Tapi aku bertanya-tanya, apakah kita benar-benar bahagia, atau hanya terhibur sesaat?

Membaca buku mengajarkan kita untuk pelan. Dan dalam pelan itu, kita merenung. Dalam pelan itu, kita bertanya. Dalam pelan itu pula, kita memahami bahwa hidup bukan hanya tentang cepat, tapi juga tentang dalam.

Seorang anak muda pernah datang padaku, ia mengeluh sulit fokus, pikirannya melompat-lompat, dan dadanya sering sesak tanpa sebab. “Berapa banyak waktu yang kamu habiskan untuk menonton video di TikTok?” tanyaku. Ia tersenyum malu, “Hampir sepanjang malam.”

Aku mengajaknya membaca satu buku kecil, tak lebih dari 100 halaman. Perlahan-lahan, ia mulai berubah. Ada ketenangan yang mulai tumbuh dari matanya. Karena membaca buku bukan hanya memberi ilmu, tapi juga menenangkan jiwa.

Bayangan Tak Pernah Melampaui Asalnya

TikTok dan film adalah bayangan dari realita. Mereka bisa menjadi indah, tetapi tetap saja bukan kenyataan. Buku, sebaliknya, adalah asal dari bayangan. Di dalamnya tersimpan ide mentah, gagasan utuh, dan percikan pemikiran orisinal.

Seorang penulis film pasti membaca buku, menulis skenario, dan berdiskusi panjang sebelum membuat satu adegan berdurasi tiga menit. Tapi penonton hanya menerima hasil akhir—tanpa tahu proses panjangnya. Membaca buku adalah cara menghormati proses, bukan hanya menikmati hasil.

Aku ingat saat membaca Sang Pemimpi karya Andrea Hirata, aku merasa seolah berlayar bersama Arai dan Ikal di lautan mimpi-mimpi besar. Saat membaca Laskar Pelangi, aku belajar bahwa kesederhanaan bukan halangan untuk menjadi luar biasa. Itu semua tak akan terasa sama jika hanya menonton filmnya. Karena kata-kata tertulis punya kekuatan yang lebih lama tinggal di hati.

Membangun Diri Lewat Buku

Jika kita ingin membentuk karakter, membaca buku adalah caranya. Karena buku tidak hanya memberi informasi, tapi membangun watak. Ia tidak hanya mengisi kepala, tapi juga membentuk hati.

Banyak tokoh besar dunia—dari Bung Hatta hingga Barack Obama—adalah pembaca buku. Mereka menyusun gagasan, membangun visi, dan menulis sejarah setelah lebih dulu menyelami lautan kata-kata.

Buku adalah guru yang sabar, teman yang setia, dan cermin yang jujur. Ia tak menghakimi, tak memaksa, dan tak memburu perhatian. Ia hanya menunggu dengan tenang, kapan pun kita siap, ia akan menyambut.


Layar Bisa Mati, Buku Akan Terus Menyala

TikTok bisa menjadi hiburan, film bisa menjadi pengantar malam yang menyenangkan. Tapi hanya buku yang bisa mengubah jalan hidup seseorang. Ia bukan sekadar media, ia adalah peradaban.

Maka, di antara semua gemerlap teknologi, tetaplah pelihara satu sudut sunyi untuk membaca. Karena di sanalah, kamu akan menemukan suara hatimu yang sejati.

Sebagaimana pesan Buya Hamka: "Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau kerja sekadar kerja, kera juga bekerja. Tapi jika ingin hidup yang berarti, maka bacalah buku dan renungkan maknanya."

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org