Menjemput Asa, Meraih Cita: Semangat Baru Warga Belajar

Menjemput Asa, Meraih Cita: Semangat Baru Warga Belajar

Senyuman Pagi di Ujung Lorong

Pagi itu, matahari tak terburu-buru naik. Ia seolah memberi ruang pada kabut untuk bercerita lebih lama. Di balik pagar bambu yang mulai lapuk, seorang perempuan paruh baya sedang mengikat rambutnya dengan pita usang, sambil sesekali mencuri pandang ke langit. "Mungkin hari ini akan cerah," gumamnya pelan. Tapi bukan langit yang ia tunggu. Ia menunggu dirinya sendiri—versi dirinya yang tak pernah sempat ia jemput puluhan tahun silam.

Menjemput Asa, Meraih Cita: Semangat Baru Warga Belajar

Namanya Bu Rani. Dulu ia terpaksa berhenti sekolah saat kelas 2 SMP. Bukan karena ia tak mampu secara nilai, tapi hidup telah memberinya tantangan lebih awal dari anak-anak lain. Ibunya sakit, ayahnya menghilang, dan adik-adiknya butuh makan. Ia harus memilih, dan ia memilih keluarga. Ia melepaskan bangku sekolah seperti seseorang melepaskan mimpi yang belum sempat disentuh.

Kini, di usia 43 tahun, ia kembali duduk di bangku belajar. Bukan di gedung megah, bukan di ruang ber-AC dengan proyektor dan papan tulis digital. Ia duduk di balai warga, bersama ibu-ibu lain, bapak tukang ojek, anak-anak muda putus sekolah, dan para pekerja serabutan. Mereka bukan siswa biasa. Mereka adalah warga belajar—orang-orang yang tak pernah menyerah untuk memperbaiki takdirnya sendiri.

Ia membawa buku tulis dengan sampul bergambar kartun anak-anak. Ia tahu itu lucu. Tapi ia juga tahu bahwa tak ada yang bisa menertawakan semangat. Ia membuka lembar pertama, menulis namanya, dan merasa seperti kembali berusia 13 tahun. Bedanya, kini ia tidak lagi takut. Kini ia belajar bukan karena kewajiban, tapi karena kerinduan.

Sekolah yang Tak Lagi Mengenal Usia

“Aku malu, awalnya,” kata Fajar, seorang pemuda yang kini berusia 19 tahun. Ia berhenti sekolah karena harus ikut bekerja di bengkel pamannya selepas ayahnya sakit keras. “Tapi waktu aku lihat ibu-ibu seusiaku duduk tenang, semangat belajar, aku merasa kecil. Malu itu perlahan hilang.”

Di ruang belajar PKBM itu, tak ada seragam. Tak ada perbedaan siapa murid dan siapa guru, selain yang memegang spidol dan yang memegang buku catatan. Suara tawa sesekali menyusup di antara pelajaran Matematika. Ada yang masih gagap membaca, ada pula yang lancar menyusun puisi. Namun semua punya satu hal yang sama: semangat.

Mereka tidak mengejar ijazah untuk sekadar gelar. Mereka mengejar masa depan yang pernah tertinggal. Mereka ingin bekerja lebih baik, memahami surat-surat penting, membantu anak-anaknya mengerjakan PR, atau sekadar berdiri lebih tegak saat ditanya tentang pendidikan terakhir.

Ada seorang bapak berusia 58 tahun, Pak Wahyu namanya. Ia selalu datang lebih awal, menyapu ruangan sebelum yang lain datang. Ia bilang, "Belajar itu ibadah. Dan setiap ibadah harus diawali dengan hati bersih."

Guru-Guru yang Tak Pernah Mengeluh

Di balik semangat para warga belajar, berdiri sosok-sosok luar biasa yang disebut tutor. Mereka bukan hanya pengajar, tapi juga sahabat, pendengar, bahkan kadang menjadi pengasuh anak-anak kecil yang ikut serta ke ruang belajar.

Salah satunya adalah Mbak Rina, lulusan pendidikan luar sekolah yang memilih bekerja di PKBM daripada jadi guru ASN. “Aku mau mendidik mereka yang sering dilupakan,” katanya. Gajinya tak seberapa, kadang telat dibayar. Tapi ia tetap datang dengan senyum yang sama.

Ia ingat hari pertama Bu Rani masuk kelas. Tangannya gemetar saat menulis huruf. Tapi Mbak Rina tak menertawakan. Ia duduk di samping, memegang tangan Bu Rani, menuntunnya perlahan. “Setiap huruf adalah anak tangga. Dan tangga tak pernah menghina siapa yang ingin naik,” bisiknya pelan.

Mimpi yang Tak Pernah Terlambat

Waktu terus berjalan. Di tengah kesibukan, mereka tetap hadir. Ada yang datang selepas magrib, dengan baju kerja masih melekat. Ada yang menyusui anaknya sambil mencatat pelajaran. Ada pula yang datang jauh dari desa tetangga dengan sepeda kayuh. Semua datang dengan satu alasan: mereka percaya masih ada harapan.

Satu hari, sebuah lomba pidato antar warga belajar diadakan. Fajar ikut. Ia berdiri di depan panggung kecil, kakinya gemetar. Tapi saat melihat ibu-ibu di barisan depan mengacungkan jempol, ia berbicara dengan lantang. Ia bercerita tentang mimpinya jadi mekanik profesional. Tentang ingin punya bengkel sendiri. Tentang ingin mempekerjakan orang-orang yang dulu senasib.

Dan ia menang.

Tangisnya pecah. Tapi bukan karena piala. Karena ia merasa diterima. Karena mimpi yang ia anggap mati ternyata masih hidup di dalam dada.

Asa yang Ditanam, Cita yang Dituai

PKBM bukan sekadar tempat belajar. Ia adalah ladang harapan. Tempat benih-benih mimpi ditanam kembali. Tempat luka masa lalu ditambal perlahan. Tempat orang-orang belajar bukan hanya dari buku, tapi dari cerita hidup satu sama lain.

Hari ini, Bu Rani belajar komputer dasar. Ia mengetik namanya di Word dan tersenyum. “Rani, S.Pd nanti ya,” candanya. Tak ada yang menertawakan. Semua tertawa bersama. Karena mereka tahu, cita-cita bukan milik anak-anak saja. Ia milik semua orang yang berani bermimpi kembali.

Warga belajar bukan mereka yang tertinggal. Mereka adalah pejalan lambat yang tak pernah berhenti. Dan dalam dunia yang kerap terburu-buru, merekalah pengingat bahwa setiap langkah kecil adalah kemajuan.

Di ruang kelas sederhana itu, setiap malam adalah pagi baru. Setiap buku yang dibuka adalah jendela harapan. Setiap huruf yang ditulis adalah batu bata masa depan.

Untukmu yang Masih Ragu

Jika kau membaca ini, dan kau sedang merasa terlambat, ingatlah: tak ada kata terlambat untuk menjadi lebih baik. Tak ada usia yang terlalu tua untuk menuntut ilmu. Dan tak ada cerita hidup yang terlalu gelap untuk ditulis ulang.

Menjemput asa bukan perkara mudah. Ia butuh keberanian untuk kembali melangkah. Meraih cita bukan sekadar soal hasil, tapi tentang proses yang kau tempuh.

Warga belajar adalah kita semua—yang pernah jatuh, yang pernah menyerah, yang pernah merasa kalah. Tapi hari ini, kita bisa memilih berdiri kembali.

Karena hidup bukan tentang siapa yang sampai duluan, tapi siapa yang tetap berjalan.


Esai ini ditulis untuk para warga belajar di seluruh pelosok negeri. Untuk mereka yang mengubah ruang kelas jadi ruang harapan. Untuk para tutor yang tulus. Untuk semua yang percaya bahwa cahaya bisa datang dari arah mana saja.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org