Langkah Terang dari Celah Cahaya
Langkah Terang dari Celah Cahaya |
Tiga tahun. Tak terasa, waktu berjalan secepat desir angin di pagi hari. Para warga belajar PKBM Celah Cahaya kini berdiri di ujung perjalanan pendidikan mereka—kelas 12. Hari ini, mereka baru saja menyelesaikan sumatif akhir, momen yang menjadi penanda bahwa perjuangan mereka di bangku pendidikan non-formal hampir usai.
Duduk di salah satu sudut saung belajar, Rina menatap lembar jawabannya yang telah dikumpulkan. Tangannya gemetar, bukan karena takut salah, tapi karena haru. Ia teringat bagaimana tiga tahun lalu ia hampir menyerah pada mimpinya untuk kembali sekolah. Usianya yang sudah 27 tahun, statusnya sebagai ibu satu anak, dan pekerjaan serabutan sempat membuatnya merasa pendidikan bukan lagi miliknya.
Namun PKBM Celah Cahaya memberikan harapan. “Tak ada kata terlambat untuk belajar,” begitu kata Pak Arif, tutor sekaligus sosok yang dengan sabar membimbing mereka dari nol. Di ruang belajar sederhana itu, mereka bukan sekadar siswa—mereka adalah keluarga. Mereka saling menyemangati, mengingatkan untuk hadir, bahkan bergantian menjaga anak satu sama lain agar tetap bisa belajar.
Rudi, yang dulunya buruh bangunan, kini bisa menulis esai yang menyentuh hati. Lilis, yang dahulu takut memegang pena, kini bercita-cita membuka kelas membaca untuk anak-anak di kampungnya. Semua mengalami perubahan. Bukan hanya dalam nilai rapor, tapi dalam cara mereka memandang diri sendiri.
Hari itu, sebelum bubar, Pak Arif berdiri di depan mereka. Dengan mata berkaca, ia berkata, “Hari ini kalian bukan hanya menyelesaikan ujian, tapi juga membuktikan bahwa kalian mampu melawan rasa ragu. Kalian adalah cahaya bagi lingkungan kalian. Teruskan langkah kalian. Pendidikan tak berhenti di sini—ia baru saja dimulai.”
Tepuk tangan menggema, mata basah oleh tangis bahagia. Mereka bukan lulusan biasa—mereka adalah pejuang yang keluar dari gelapnya keterbatasan, menemukan celah kecil yang bernama harapan, lalu berjalan perlahan, penuh keyakinan, menuju terang.